Date:

Share:

Leuwih Becik Mikul Dawet Rengeng-rengeng Tinimbang Numpak Sedan Mbrebes Mili

Related Articles

Sejak sebelum kemerdekaan, orang-orang desa banyak yang berprofesi sebagai penjual dawet. Mereka membawanya dengan memikulnya di atas punggung, sembari berkeliling untuk mencari pelanggan yang ingin membeli. Profesi ini dikenal juga dengan mikul dawet. Mereka yang mikul dawet biasanya akan menghampiri tempat-tempat yang ramai oleh orang bekerja; contohnya seperti di sawah. Terutama ketika musim panen, para petani yang lelah kehausan setelah bekerja di bawah terik matahari akan sangat gembira ketika bisa menyantap dawet yang segar. Sebagai gantinya, para petani akan memberikan satu ikat padi kepada si penjual dawet.

Menjajakan dawet dengan memikulnya ke mana-mana tentu bukanlah sesuatu yang mudah. Punggungnya harus menahan beban yang cukup berat sepanjang hari. Namun, hal itu tidak menjadi masalah bagi para penjual dawet. Mereka tetap menjalaninya dengan riang; menyusuri pelosok desa untuk berjualan sambil rengeng-rengeng atau bernyanyi-nyanyi kecil. Senandung nyanyian tersebut menunjukkan bahwa mereka berbahagia, tidak sedih ataupun murung.

Di sisi lain, banyak orang lain yang kelihatannya bernasib lebih baik daripada mereka yang mikul dawet. Contohnya saja seperti mereka yang numpak sedan. Pada zaman itu, sedan bisa dibilang sebagai salah satu kendaraan terbaik. Yang menaikinya pun tidak sembarang orang; yaitu mereka yang notabenenya memiliki harta lebih.

Meski begitu, bisa menaiki sedan belum tentu berarti bahwa seseorang akan merasa bahagia. Karena nyatanya tidak sedikit mereka yang numpak sedan itu tampak mbrebes mili atau menangis; mungkin karena ditagih hutang, atau cicilan yang belum lunas, dan seterusnya. Hal-hal tersebut tentunya akan menghalangi seseorang dari merasakan kebahagiaan.

Pada akhirnya, tidak semua yang tampak menyenangkan itu mendatangkan kebahagiaan. Karena sejatinya, kebahagiaan dapat kita temukan dengan menikmati apapun keadaan hidup kita, sekalipun itu dinilai “sengsara”. Bisa jadi keadaan yang menurut kita menyenangkan, sejatinya mengakibatkan keadaan yang lebih sengsara daripada yang sedang kita alami. Filosofinya adalah supaya kita bisa menikmati hidup ini dengan berbagai macam cara, karena dengan menikmati tersebut akan mengantarkan kita kepada kesyukuran atas semua pemberian Allah SWT.

 

Disarikan oleh Husain Zahrul Muhsinin dari pidato Drs. K.H. M. Akrim Mariyat, Dipl.A.Ed., dalam pertemuan kemisan pada tanggal 10 Muharram 1443 / 19 Agustus 2021.

 Telah diperiksa oleh Humas Gontor (Al-Ustadz Dr. M. Adib Fuadi Nuriz, M.A., M.Phil., Al-Ustadz Riza Ashari, M.Pd.I., dan Al-Ustadz M. Taufiq Affandi, M.Sc.)

 

Mengetahui,

 Drs. K.H. M. Akrim Mariyat, Dipl.A.Ed.

Pimpinan PMDG

 

Related Articles :

Makan Untuk Hidup, Atau Hidup Untuk Makan?

Kesederhanaan Ala Gontor

Jiwa Kebebasan Pondok Pesantren

Popular Articles