Pembukaan Kulliyyatu-l-Muallimin Al-Islamiyyah, 1936

Pondok Gontor yang telah dibuka kembali terus berkembang. Kehadiran Tarbiyatul Athfal (TA) telah membawa angin segar yang menggugah minat belajar masyarakat. Program pendidikan di TA pun berkembang. Jika pada awalnya TA hanya bermula dengan mengumpulkan anak-anak desa dan mengajari mereka mandi dan membersihkan diri serta cara berpakaian untuk menutupi aurat mereka, maka dalam satu dasawarsa kemudian lembaga ini telah berhasil mencetak para kader Islam dan muballigh di tingkat desa yang tersebar di sekitar Gontor. Melalui mereka nama Gontor menjadi lebih dikenal masyarakat.

Kesyukuran 10 Tahun Pondok Gontor

Perkembangan tersebut cukup menggembirakan hati pengasuh pesantren yang baru dibuka kembali ini. Banyak sekali yang perlu disyukuri. Terlebih lagi setelah K.H. Imam Zarkasyi kembali dari belajarnya di berbagai pesantren dan lembaga pendidikan di Jawa dan Sumatra pada tahun 1935. Beliau mulai ikut membenahi pendidikan di Pondok Gontor Baru ini. Kesyukuran tersebut ditandai dengan Peringatan atau “Kesyukuran 10 Tahun Pondok Gontor”. Acara kesyukuran dan peringatan menjadi semakin sempurna dengan diikrarkannya pembukaan program pendidikan baru tingkat menengah pertama dan menengah atas yang dinamakan Kulliyyatu-l-Muallimin Al-Islamiyyah (KMI) atau Sekolah Guru Islam pada tanggal 19 Desember 1936. Program pendidikan baru ini ditangani oleh K.H. Imam Zarkasyi, yang sebelumnya pernah memimpin sekolah serupa tetapi untuk perempuan, yaitu Mu’allimat Muhammadiyah di Padang Sidempuan, Sumatra Utara.

Dalam peringatan 10 tahun ini pula tercetus nama baru untuk Pondok Gontor yang dihidupkan kembali ini, yaitu Pondok Modern Darussalam Gontor. Nama ini merupakan sebutan masyarakat yang kemudian melekat pada Pondok Gontor yang nama aslinya Darussalam, artinya Kampung Damai.

Kulliyyatu-l-Muallimin Al-Islamiyyah

Kulliyyatu-l-Muallimin Al-Islamiyyah (KMI) adalah Sekolah Pendidikan Guru Islam yang modelnya hampir sama dengan Sekolah Noormal Islam di Padang Panjang; di mana Pak Zar menempuh jenjang pendidikan menengahnya. Model ini kemudian dipadukan dengan model pendidikan pondok pesantren. Pelajaran agama, seperti yang diajarkan di beberapa pesantren pada umumnya, diajarkan di kelas-kelas. Namun pada saat yang sama para santri tinggal di dalam asrama dengan mempertahankan suasana dan jiwa kehidupan pesantren. Proses pendidikan berlangsung selama 24 jam. Pelajaran agama dan umum diberikan secara seimbang dalam jangka 6 tahun. Pendidikan ketrampilan, kesenian, olahraga, organisasi, dan lain-lain merupakan bagian dari kegiatan kehidupan santri di Pondok.

Pada tahun pertama pembukaan program ini, sambutan masyarakat belum memuaskan. Bahkan tidak sedikit kritik dan ejekan yang dialamatkan kepada program baru yang diterapkan oleh Gontor. Sistem pendidikan semacam yang diterapkan oleh Gontor tersebut memang masih sangat asing. Sistem belajar secara klasikal, penggunaan kitab-kitab tertentu yang tidak umum dipakai di pesantren, pemberian pelajaran umum, guru dan santri memakai celana panjang dan dasi. Demikian juga pemakaian Bahasa Arab, Bahasa Inggris, dan bahkan juga Bahasa Belanda, ketika itu masih dianggap tabu. Sebab Bahasa Arab adalah bahasa Islam sedangkan Bahasa Inggris dan Bahasa Belanda adalah bahasa orang kafir.

Tekad Trimurti

Trimurti
Trimurti, Pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor

Masih asingnya sistem pendidikan baru ini menyebabkan merosotnya jumlah santri Gontor saat itu. Santri Gontor yang sebelumnya berjumlah ratusan kini hanya tinggal 16 orang. Keadaan ini tidak mematahkan semangat Pak Sahal dan Pak Zar. Dalam keadaan demikian Pak Zar bertekad dan berucap: “Biarpun tinggal satu saja dari yang 16 orang ini, program akan tetap akan kami jalankan sampai selesai, namun yang satu itulah nantinya yang akan mewujudkan 10…100 hingga 1000 orang.” Bahkan suatu saat Pak Zar pernah berujar: “Seandainya saya tidak berhasil mengajar dengan cara ini, saya akan mengajar dengan pena.” Pak Sahal juga tanpa ragu-ragu berdoa: “Ya Allah, kalau sekiranya saya akan melihat bangkai Pondok saya ini, panggillah saya lebih dahulu kehadirat-Mu untuk mempertanggung jawabkan urusan ini.”

Allah rupanya mendengar doa dan tekad kakak-beradik itu. Pada tahun kedua, mulai datang para santri dari Kalimantan, Sumatra, dan dari berbagai pelosok tanah Jawa. Gontor mulai ramai oleh kehadiran para santri yang semakin banyak.

Akhirnya, setelah tiga tahun berjalan, Pondok Gontor dibanjiri oleh para santri dari berbagai kota dan pulau dengan tingkat pengetahuan yang berbeda-beda. Ada yang sudah baik pengetahuan agamanya tetapi lemah dalam pengetahuan umum dan ada pula yang sebaliknya. Untuk mengatasi persoalan ini dibukalah kelas khusus untuk menampung mereka, yaitu Voorklas atau Kelas Pendahuluan.

Onderbow dan Bovenbow

Setelah perjalanan tiga tahun, pelajaran sudah harus ditingkatkan, maka dibukalah tingkatan yang lebih tinggi bernama Bovenbow. Jumlah santri yang semakin banyak dan pembukaan kelas baru ini menimbulkan persoalan baru, yaitu terbatasnya jumlah guru. Dalam kondisi demikian ini tidak jarang Pak Zar mengajar 2 kelas dalam satu jam pelajaran. Namun pada tahun kelima datanglah seorang guru muda bernama R. Muin yang cakap berbahasa Belanda. R. Muin ini kemudian diserahi mengajar Bahasa Belanda untuk murid-murid kelas I tingkat atas, atau kelas IV.

Setelah berjalan 5 tahun, pengembangan tingkatan pendidikan di KMI menjadi sebagai berikut :

a. Program Onderbow, lama belajar 3 tahun.

b. Program Bovenbow, lama belajar 2 tahun.