Date:

Share:

Syukuri 90 Tahun Eksistensi Pondok, 100 Kader Gontor Menapaktilasi Perjuangan Trimurti pada Masa Pemberontakan PKI 1948

Related Articles

WhatsApp Image 2016-09-07 at 7.04.48 AMGONTOR–Pondok Modern Darussalam Gontor telah berusia 90 tahun dengan segudang prestasi dan pencapaian yang luar biasa. Eksistensinya yang terus mewarnai Nusantara dan dunia saat ini tidak terlepas dari perjuangan Trimurti yang tulus ikhlas berkorban untuk kemajuan pondok dan pantang menyerah dalam mempertahankannya. Maka, untuk mensyukurinya, hari ini, Rabu (7/9) pagi, Pimpinan Pondok, K.H. Hasan Abdullah Sahal dan K.H. Syamsul Hadi Abdan memberangkatkan 100 orang alumni dan kader Gontor untuk melaksanakan Napak Tilas Perjalanan Trimurti ke Sooko.

Di sepanjang jalan dari Gontor menuju Sooko memang tersimpan kisah perjuangan dan pengorbanan Trimurti beserta rombongan santri mereka saat itu. Kisah ini terjadi pada tahun 1948, saat PKI mencoba melakukan pemberontakan terhadap pemerintah. Sejumlah pondok pesantren dengan para kiai dan santri-santrinya terkena imbas pemberontakan ini karena dianggap menjadi penghalang upaya-upaya PKI dan antek-anteknya mengambil alih kekuasaan. Sehingga, sejumlah pondok pesantren yang dicurigai menggalang perlawanan terhadap PKI diserang hingga tidak sedikit santri-santri yang kehilangan nyawa, begitu juga para kiainya.

Pondok Modern Darussalam Gontor pun tidak luput dari kecurigaan PKI, walaupun jarak Gontor dari pusat pemberontakan mereka di Madiun terpaut 40 kilometer. Oleh sebab itu, berdasarkan kisah yang tertuang di buku biografi K.H. Imam Zarkasyi, keadaan yang semula tenang menjadi penuh kekhawatiran. Saat itu, para santri menjadi resah. Mereka khawatir akan menjadi korban situasi yang tidak menguntungkan itu. Sebagian santri kemudian ada yang minta izin pulang, khususnya mereka yang bertempat tinggal tidak jauh dari pondok. Sementara itu, sebagian lain masih banyak yang tetap tinggal di dalam pondok. Kiai Imam Zarkasyi dan Kiai Ahmad Sahal, sebagai Pimpinan Pondok, mencoba bersikap tenang sambil berpikir tentang langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mengantisipasi keadaan tersebut.

Setelah dua hari berlalu, pemberontak mulai memasuki wilayah Jetis yang hanya berjarak 3 kilometer di sebelah barat Gontor. Saat itu mulai terdengar berita bahwa sejumlah kiai telah dihabisi oleh PKI. Mendengar berita-berita semacam itu, sejumlah orang mengkhawatirkan keselamatan K.H. Ahmad Sahal dan K.H. Imam Zarkasyi.

Beliau berdua kemudian bermusyawarah dengan beberapa santri seniornya, seperti Ghozali Anwar dan Shoiman. Dari musyawarah itu lalu ditetapkan bahwa melawan pemberontak adalah sesuatu yang tidak mungkin. Satu-satunya jalan yang bisa ditempuh adalah menyelamatkan diri dengan cara mengungsi.

Semula K.H. Imam Zarkasyi dan K.H. Ahmad Sahal agak enggan untuk mengungsi karena, betapapun, ia merasa bertanggung jawab atas sekitar 200 santri yang ada di pondok waktu itu. Namun, karena bujukan Ghozali Anwar dan kawan-kawan, akhirnya kedua kiai tersebut mau juga. Hanya kemudian diatur, mereka yang ikut mengungsi adalah sebagian santri yang besar-besar, sedangkan yang lainnya, terutama yang kecil-kecil, dititipkan di rumah-rumah orang desa. Untuk menjaga pondok selama pengungsian berlangsung, sekaligus menghadapi PKI jika datang, secara khusus kedua kiai tersebut menugaskan santri Shoiman.

Lalu direncanakan pengungsian ke Trenggalek melalui jalur utara melewati Gunung Bayangkaki. Namun, belum sempat pengungsian dilakukan, seorang utusan pemberontak PKI telah datang ke Gontor menyampaikan sepucuk surat. Isinya perintah agar segenap penghuni pondok menyerah dan tidak meninggalkan pondok. Jika perintah ini tidak ditaati, berarti akan terjadi bencana yang tidak terhindarkan bagi segenap keluarga dan pemuda pondok, demikiran surat itu mengancam.

Mulanya K.H. Imam Zarkasyi dan K.H. Ahmad Sahal sempat mempertimbangkan isi surat tersebut, tapi keduanya tetap memutuskan untuk mengungsi. Dilaksanakanlah pengungsian ke Trenggalek secara diam-diam. Pada pagi-pagi buta, mulai diperintahkan kepada santri yang hendak turut mengungsi bersama kiai untuk meninggalkan pondok dua-dua atau tiga-tiga. Rute perjalanan telah dipersiapkan sebelumnya. Ada sekitar 70 santri yang ikut mengungsi waktu itu. Dengan memakai pakaian rakyat biasa, agar tidak mudah dikenal orang, K.H. Imam Zarkasyi dan K.H. Ahmad Sahal meninggalkan pondok pada giliran paling akhir di belakang para santri.

Santri yang masih di pondok ada sekitar 150 orang, termasuk Shoiman yang diserahi tugas untuk menjaga pondok. Selain itu, satu-satunya sesepuh yang masih tinggal di pondok adalah Bapak Rahmat Soekarto, kakak tertua K.H. Ahmad Sahal dan K.H. Imam Zarkasyi, yang juga Lurah Desa Gontor waktu itu.

Dalam pengungsian ke Trenggalek melewati jalur utara ini, orang memang harus berjalan dari kampung ke kampung melewati jalan setapak, sebelum akhirnya melewati wilayah pegunungan. Saat itu, perbekalan yang dibawa santri hanya sejumlah uang yang tidak terlalu banyak, meski sepanjang perjalanan mereka juga hampir tidak pernah menjumpai warung. Perjalanan akhirnya harus menaiki bukit dan menuruni jurang melewati Gunung Bayangkaki. Setelah itu, baru mereka menjumpai warung. Kelompok yang berada di depan sedikit beruntung karena dapat membeli makanan dan minuman yang ada di warung. Tapi, kelompok yang datang belakangan, termasuk K.H. Imam Zarkasyi dan K.H. Ahmad Sahal, hanya bisa gigit jari karena yang mereka jumpai tinggal kendi-kendi kosong dan beberapa kulit pisang atau kulit ubi yang sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi.

Matahari mulai condong ke barat. Perjalanan yang harus ditempuh pun bertambah sukar, di samping badan mulai letih dan rasa haus yang tak tertahankan. Tapi, perjalanan tidak bisa berhenti, sampai akhirnya K.H. Imam Zarkasyi dan rombongan tiba di puncak pegunungan Soko. Di sini K.H. Imam Zarkasyi dan K.H. Ahmad Sahal sejenak sempat menikmati indahnya pemandangan alam. Kedua kakak beradik ini lalu menatap ke timur dan dilihatnya Gunung Wilis yang berdiri megah. Dari sebelah utara mereka menyaksikan dataran wilayah Madiun dan Ponorogo dengan latar belakang Gunung Lawu-nya. Di arah barat samar-samar terlihat kampung Gontor berada.

Selama mereka melewati pegunungan Soko sampai masuk Desa Ngadirejo, suasana terlihat aman-aman saja. Namun, secara tidak diduga, ketika mereka mulai tiba di Dukuh Gurik, tiba-tiba K.H. Imam Zarkasyi dan rombongan dikejutkan oleh suara kentongan yang disertai hiruk-pikuk santri yang berada di depan. Kiai Imam Zarkasyi dan Kiai Ahmad Sahal yang masih berada di belakang bergegas menuju ke depan ke tempat asal suara. Apa yang mereka lihat? Segerombolan orang bersenjatakan golok, tombak, bambu runcing, dan sabit ternyata telah mengepung mereka. Melihat sikap dan gerak-gerik mereka, ada firasat tidak baik yang terdetik dalam hati K.H. Imam Zarkasyi dan rombongan tentang gerombolan yang sedang berada di hadapan mereka ini.

Dugaan mereka tidak salah. Gerombolan yang kebanyakan dari kalangan warokan (para jagoan Ponorogo-red)  ini ternyata bagian dari gerombolan PKI. Dengan nada kasar dan bengis, mereka lalu menginterogasi anak-anak Gontor.

Sempat terjadi ketegangan saat itu antara para santri dan pemberontak, malah hampir-hampir terjadi tindak kekerasan. Mereka agaknya ingin memastikan bahwa rombongan santri tersebut adalah anggota tentara Hizbullah. Ini karena mereka tahu, pada 9 September 1948 di Gontor telah diadakan rapat Masyumi untuk wilayah Ponorogo. Mereka menduga kuat Pondok Modern Gontor telah terlibat dalam kegiatan politik, atau mungkin telah dijadikan markas tentara.

Dalam suasana demikian, K.H. Ahmad Sahal sebagai yang tertua di antara anggota rombongan secara tekun meyakinkan pemberontak bahwa rombongan santri ini bukanlah tentara, melainkan murni pelajar. Dari perbincangan yang kadang mengundang ketegangan itu, akhirnya sedikit demi sedikit kaum pemberontak mulai melunak.

“Baik, sementara ini Bapak tidak kami apa-apakan. Tapi Bapak tetap kami tahan menunggu proses lebih lanjut. Pondok Gontor akan kami geledah. Sekiranya keterangan Bapak tadi bertentangan dengan kenyataan yang ada di pondok, akibatnya akan Bapak rasakan sendiri.” Demikian ancaman dari pemimpin pemberontak itu. Untuk menghindari ketegangan, K.H. Ahmad Sahal menyanggupi semua maksud pemimpin pemberontak tadi.

Suatu keberuntungan waktu itu adalah bahwa sejauh itu tampaknya belum ada di antara pemberontak yang tahu secara persis sosok K.H. Ahmad Sahal dan K.H. Imam Zarkasyi. Mungkin mereka juga tidak tahu bahwa kedua kiai tersebut sedang berada di antara rombongan.

Sebagai tindak lanjut dari penangkapan ini, pemberontak kemudian menggiring rombongan ini ke sebuah kamar tahanan di Dukuh Buyut yang masih terletak di Desa Ngadirejo. Kiai Imam Zarkasyi dan rombongan ditahan di Dukuh Buyut selama semalam. Esoknya, mereka dipindah ke Dukuh Ploso. Esoknya lagi, mereka dipindah ke Kecamatan Soko. Di sini mereka ditahan selama dua malam, sebelum akhirnya dibawa ke Ponorogo.

Selama ditahan, pakaian mereka dilucuti. Tinggal lembaran pakaian dalam saja yang masih menempel di badan. Makanan yang diberikan hanya ketela rebus. Suasananya serba tidak pasti. Tidak ada keceriaan meliputi hati anggota rombongan. Semua prihatin. Selama ditahan para santri disarankan, baik oleh K.H. Imam Zarkasyi maupun K.H. Ahmad Sahal, agar selalu berdoa dan bertawakkal kepada Allah karena mereka masih belum tahu nasib apa yang akan menimpa mereka esok hari.

Dalam suasana ketidakpastian itu, terjadi semacam perdebatan kecil antara K.H. Ahmad Sahal dan adiknya, K.H. Imam Zarkasyi. Apa yang mereka perdebatkan adalah siapa di antara mereka yang harus mati jika terpaksa situasi menghendaki pengakuan salah seorang di antara mereka sebagai Kiai Gontor.

Tersusunlah sebuah skenario yang siap dijalankan jika PKI memaksa mereka harus menunjukkan sang kiai. Walaupun skenario telah dipersiapkan, akhirnya tak seorang pun di antara mereka yang harus mati. Kalau sekadar penganiayaan barangkali ada, terutama kepada Ghozali Anwar dan Imam Badri yang disiksa di kamar tahanan Sooko saat diinterogasi secara khusus oleh pemberontak. Mereka diduga kuat sebagai tentara karena fisik mereka tegap. Bahkan, Ghozali Anwar sebenarnya adalah seorang komandan Hizbullah di Ponorogo.

Kiai Imam Zarkasyi dan santri-santrinya yang lain kemudian dipindahkan ke kamar tahanan Sooko, menyusul Ghozali Anwar dan Imam Badri yang telah dipindahkan kemarin sorenya. Ketika bertemu kawan-kawannya, kedua santri tersebut kelihatan memar karena pukulan. Mereka berdua memang sempat dipukuli hingga pingsan karena tidak mau mengaku sebagai tentara. Malam itu, semua anggota rombongan dimasukkan ke dalam kamar tahanan berukuran 4 x 4 meter persegi. Bisa dibayangkan, bagaimana kamar sekecil ini harus dihuni oleh 70 orang.

Esok harinya, rombongan dibawa ke Pulung, lalu dengan berjalan kaki digiring ke Kota Ponorogo. Di Ponorogo, mula-mula mereka ditempatkan di Panti Yugo, rumah besar di sebelah selatan alun-alun yang pernah dijadikan markas Kodim tahun 1960-an. Dari situ kemudian mereka dipindahkan ke Masjid Muhammadiyah. Saat itu ada dua kriteria tahanan. Pertama, tahanan berat yang dikumpulkan di rumah penjara. Umumnya bisa dipastikan mereka akan dibunuh. Kedua, tahanan ringan yang dikumpulkan di Masjid Muhammadiyah Ponorogo.

Di Masjid Muhammadiyah ini, tempat tahanan golongan kedua, juga dipasangi bom yang siap diledakkan. Untung, saat itu reaksi pemerintah RI cepat dan tepat. Tanggal 22 September 1948, Kabinet Hatta telah mengerahkan TNI di bawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto yang memberi komando penumpasan antek-antek PKI dari Solo. Hari-hari itu tentara Siliwangi sudah mulai bergerak di wilayah Madiun. Kaum pemberontak pun mencoba melawan. Tapi, belum sempat memberikan perlawanan, mereka sudah kocar-kacir.

Di Ponorogo, di bawah pimpinan Abd. Choliq Hasyim (putra K.H. Hasyim Asy‘ari), tentara berhasil memadamkan aksi pemberontak, termasuk menyelamatkan para tawanan. Secara keseluruhan, dalam tempo kurang dari seminggu, aksi pemberontakan PKI di wilayah Madiun dan sekitarnya sudah dapat dipadamkan. Pimpinannya, Muso ditembak mati, sedangkan Amir Syarifuddin ditangkap untuk kemudian juga dijatuhi hukuman mati.

Terkait peristiwa yang mengancam keberlangsungan pondok ini, K.H. Ahmad Sahal pernah berujar sebagai bentuk ungkapan rasa syukurnya, “Nyawa saya ini nyawa lebihan, mestinya saya sudah mati di tangan PKI sejak di Buyut.” shah wa

Popular Articles