Date:

Share:

Pendidikan Homogenisasi di Gontor

Related Articles

2017-07-05-07.08.32.jpgBanyak orang mencemooh alumni Gontor dengan stigma macam-macam: tidak bisa membaca Kitab Kuning, bahasa Arab-nya bukan bahasa fush-ha tetapi Arab Gontor, shalat harus tanda tangan, kurang etika, dan lain sebagainya, mungkin masih puluhan lagi sumpah serapah. Akan tetapi, jika sudah mengetahui kiprah dan gerak alumni Gontor di masyarakat, cibiran itu tidak ada artinya. Kebaikan, bahkan keunggulan alumni Gontor jauh lebih banyak. Ibaratnya, jutaan bintang bertaburan di langit, akan lenyap begitu matahari bersinar terang. Mengapa demikian? Berikut sedikit ulasan penulis.

Pondok Modern Darussalam Gontor (PM Gontor/Gontor) menerapkan proses pendidikan santrinya dengan homogenisasi. Dengan sistem klasikal dan berasrama penuh, homogenisasi itu menjadi mudah dilakukan. Hal itu berlaku bagi siapa saja, dan dalam hal apa saja, tidak peduli anak kiai, anak tokoh, anak menteri, anak jenderal, anak luar negeri, semua dididik dengan sistem yang sama. Hasilnya, abituren Gontor menjadi manusia berkarakter khas, namun universal; dapat diterima masyarakat luas, dan dapat menjadi panutan. Homogenisasi dimaksud dalam hal-hal sebagai berikut.

Begitu masuk pondok, santri harus tidur dengan fasilitas dan cara yang sama. Dalam satu kamar yang berisi sekitar 30 orang santri tidak boleh lebih dari 5 orang yang seasal daerah (Konsul, istilah Gontornya). Mereka tidur di bawah, dan beralaskan kasur tipis. Waktu tidur, santri wajib mengenakan celana panjang, bukan sarung. Begitu bangun pagi Subuh, semua kasur harus digulung atau ditumpuk di satu tempat, dan tidak ada lagi yang boleh menambah waktu tidur, sebab, usai shalat Subuh, segudang kegiatan telah menanti.

Baju santri Gontor disesuaikan dengan waktu dan jenis aktivitasnya. Ketika ke masjid, santri wajib mengenakan baju yang dimasukkan ke dalam sarung, berkopiah hitam (bukan putih seperti umumnya pondok pesantren), dan berikat pinggang. Ketika olahraga, mereka harus mengganti pakaiannya dengan kaos yang dimasukkan ke dalam celana olahraga.

Baju sekolah santri putra tidak sama tetapi umumnya seragam. Ketentuannya, santri atau siswa Kulliyyatu-l-Mu‘allimin al-Islamiyyah (KMI) harus memiliki kemeja putih lengan panjang dan celana berwarna gelap, tidak harus hitam. Sehari-hari, ketika masuk kelas, ada siswa KMI yang mengenakan kemeja bermotif polos, garis, maupun kotak-kotak lembut; ada yang berlengan panjang, tapi lengan pendek pun boleh. motif batik atau bunga dilarang. Demikian pula warna yang mencolok, seperti merah, hitam, dsb. Warna celana tidak harus seragam. Saat bersekolah, baju itu harus dimasukkan ke dalam celana yang berikat pinggang, dan wajib bersepatu, apapun merknya. Saat berlatih pidato dalam bahasa Indonesia-Arab-Inggris, semua santri mengenakan kemeja putih. Khusus pembicara dan pembimbing, wajib mengenakan jas dan kopiah.

Barangsiapa tidak mengikuti aturan akan dikenai sanksi. Misalnya, berolahraga dengan pakaian shalat atau pakaian masuk kelas, atau mengenakan sarung pada jam sekolah (pukul 07.00–12.20 WIB), atau tidur mengenakan celana pendek.

Potongan rambut santri Gontor khas dan seragam, tidak boleh panjang. Ukurannya, rambut tidak boleh sampai menyentuh daun telinga. Jika rambut telah menyentuh daun telinga, tinggal pilih, yang dipotong telinganya atau rambutnya. Dalam kurun waktu tertentu, Bagian Keamanan dan Guru Pembimbing Santri akan mengelilingi kelas-kelas, mengingatkan yang rambutnya telah dianggap waktunya cukur. Yang namanya dicatat harus datang cukur di sore hari kemudian lapor kepada Bagian Keamanan. Ketika naik ke kelas 6, sebagai kesyukuran, para santri itu harus memotong rambutnya seperti taruna Akademi Militer. Mereka menyebutnya “jundy”, ‘seperti tentara’. Semua yang naik ke kelas 6 wajib jundy, sebagai ungkapan rasa kesyukuran.

Homogenisasi dalam berpakaian dan berpenampilan itu akan terbawa dan menjadi ciri khas alumni Gontor di manapun. Pakaian itu juga universal. Manusia, bahkan presiden dari negara manapun berpakaian seperti yang biasa dikenakan santri Gontor itu.

Yang tak kalah menariknya, pendidikan homogenisasi dalam hal makan. Pedoman di Gontor bukan “hidup untuk makan,” melainkan “makan untuk hidup.” Waktu dan menu makan diatur sedemikian rupa. Para santri itu pun harus makan tepat pada waktunya, dan dengan lauk yang tersedia, agar tidak kelaparan dan bisa mengikuti aktivitas pondok dengan baik. Tentang, lauk pauk, jangan tanya. Justru, di sinilah nilai pendidikan yang luar biasa. Para santri itu disuguhi menu yang sama. Yang penting, gizinya cukup. Telah meliputi rasa asin, manis, gurih, dan pedas. Mereka harus menyesuaikan diri. Memang, awalnya, anak dari Jogjakarta atau Jawa Tengah belum terbiasa dengan menu yang tersedia. Begitu pula santri dari luar Jawa yang umumnya justru suka pedas, harus melahap menu yang terkadang terlalu manis bagi indera pengecap mereka. Perutnya harus beradaptasi sebentar.

Tujuan homogenisasi dalam hal makanan ini agar lidah santri menjadi universal. Sehingga, ketika harus berjuang di derah tertentu atau sekolah di luar negeri menjadi mudah menerima makanan. Hal itu diakui alumnus Gontor yang telah puluhan tahun belajar di Cairo. Katanya, “Anak Gontor paling cepat menyesuaikan diri dengan jenis makanan di Cairo, sehingga kerasan.”

Pernah, seorang santri dari Thailand penulis tanya, apa makanan favoritnya selama di Gontor dan tidak ada di Thailand. Jawabannya mengejutkan, “Sayur terong.” Mungkin sayur lodeh terong maksudnya. Benar, lidahnya sudah universal.

Homogenisasi yang paling tinggi nilainya adalah dalam belajar, baik materi maupun metodenya. Oleh pendiri, kurikulum Gontor diramu bagi pembentukan karakter yang khas, khas Islam, bisa juga khas Indonesia, yang penting ber-akhlaqul karimah. Pelajaran-pelajaran itupun disampaikan secara berjenjang dan dengan metode khas Gontor. Pelajaran ibadah atau fiqih, misalnya, materinya berbahasa Indonesia, dan tidak dilengkapi dengan dalil-dalil yang rumit. Pertimbangannya, ibadah itu wajib, harus dilaksanakan, dengan atau tanpa dalil. Maka, K.H. Imam Zarkasyi, pengarang buku Fiqih, dalam pengantar buku itu, mengatakan bahwa tujuan belajar fiqih itu adalah agar anak segera dapat beribadah dengan baik. Kemudian, secara gradual, pada kelas-kelas berikutnya, materi pelajaran fiqih dilengkapi dengan dalil, baik fiqhu al-sunnah maupun fiqh al-wadhih. Muara materi pelajaran fiqih adalah kitab Bidayatul Mujtahid, agar, setelah tamat dan terjun ke masyarakat, alumni Gontor dapat menjadi perekat ummat, tidak berkutat pada furu’iyyah atau khilafiyah. Maka, terbentuklah pribadi yang khas Gontor dari metode belajar fiqh ini.

Hal yang sama, pengajaran secara gradual dan dengan materi yang seragam juga dilakukan Gontor terhadap pelajaran Dirasah Islamiyah dan Bahasa (Arab-Inggris). Adapun yang paling unik, di Gontor tidak ada pelajaran Akhlaq, yang menggunakan buku seperti Ta‘limul Muta‘allim atau al-Hikam, melainkan Mahfuzhat, yakni kata-kata bijak/mutiara yang sungguh membentuk karakter santri. Pelajaran ini diberikan kepada santri kelas 1–6. Hasilnya, dengan belajar Mahfuzhat, alumni Gontor akan mudah mengenali alumni lainnya, meskipun berbeda genarasi cukup jauh, kesamaan karakter, penyebabnya. Bahkan, Profesor Dr. H. A. Mukti Ali, M.A., mantan Menteri Agama RI era Orde Baru, mengatakan dalam sebuah tulisannya, “Justru Gontor-lah yang paling konsiten menerapkan Ta‘limul Muta‘allim, sebab pendidikan akhlaknya disertai disiplin yang ketat.”

Akibat belajar Mahfuzhat itu, beberapa alumni Gontor dapat menyusun puluhan buku dan menjadi motivator di mana-mana. Sebab, ajaran dalam Mahfuzhat Gontor itu, kecuali mudah dicerna dan dilaksanakan, juga dapat menjangkau ranah religi, psikologi, sosiologi, maupun antropologi.

Hal “sepele” lainnya, Gontor sarat dengan pendidikan karakter riil melalui aktivitas ko-kurikuler dan ekstrakurikuler para santri, seperti pramuka, latihan pidato, olahraga, kesenian, organisasi, maupun keterampilan. Aktivitas itu mendidik santri dalam hal tanggung jawab, keberanian, kerjasama, nasionalisme, dan sebagainya. Ada alumnus Gontor yang baru tamat beberapa tahun, hasil kaligrafinya terjual dengan harga puluhan juta. Ada juga mantan pemain bola di Gontor yang menjadi pimpinan organisasi sepak bola di daerahnya. Doktor K.H. Idham Cholid, K.H. Hasyim Muzadi, dan Prof. Dr. Dien Syamsuddin sukses memimpin ormas Islam terbesar selama beberapa periode. Itu karena pendidikan berorganisasi yang mereka rasakan dan alami di Gontor. Umumnya, alumni Gontor memiliki keterampilan hidup (life skill) lebih banyak dibandingkan sekolah-sekolah sederajat.

Yang tak kalah penting, guru di Gontor harus siap menjadi panutan dalam hal apa saja, terutama pelajaran dan sikap hidup. Puncak teladan adalah Kiai atau Pimpinan Pondok. Maka, definisi Gontor tentang pesantren adalah “sebuah lembaga pendidikan, dimana kiai secara central figure, dan masjid sebagai titik pusat yang menjiwai.” Para kiai dan guru ini, dapat dijadikan contoh bagi penerapan lima karakter utama (Panca Jiwa), yakni Keikhlasan, Kesederhanaan, Ukhuwwah Islamiyyah, Kemandirian, dan Kebebasan. Setiap saat, kiai berpidato mengenai Panca Jiwa itu, hingga melekat dalam hati para guru dan santri. Maka, Gontor bukan hanya ta‘limul muta‘allim (‘mendidik murid’), melainkan juga ta‘limul mu‘allim (‘mendidik guru’).

Begitulah Gontor, mendidik para santrinya sehingga memiliki karakter khas. Acapkali ada cerita seorang alumnus bertemu dengan seseorang yang karakternya nampak “Gontory.” Padahal, jarak usianya terpaut jauh. Lantas teguran khas Gontor pun terucap, “Anta min Ma‘had?” (‘Anda dari/alumnus Gontor?’) Sambil terkejut, yang ditanya pun menjawab, “Oh, na‘am. Ana khirrij sanah 1990. Antum sanah kam?” (‘Oh iya, saya alumnus 1990. Anda alumnus tahun berapa?’). Seterusnya, obrolan akrab pun terjadi dengan sendirinya, dengan bahan kenangan selama di pondok, kiai, guru, asrama, aktivitas, maupun teman.

Ada ilustrasi yang dramatik. Konon, terjadinya kesepakatan antara GAM Aceh dengan Pemerintah RI juga tak lepas dari peranan alumni Gontor. Waktu itu, Wapres Jusuf Kalla, selaku wakil dari Pemerintah RI membawa alumnus Gontor tahun 1970-an. Sementara itu, ada orang penting di pihak GAM yang alumnus Gontor tahun 1992. Ketika perundingan hampir buntu —secara dramatik dapat digambarkan— kedua alumni Gontor itu bertatapan muka, beradu pandang cukup lama. Lantas, hampir bersamaan, keduanya saling menyapa, “Antum min Ma’had?” Setelah itu, kedua alumni itupun berjabatan erat, bahkan berpelukan, dan saling memperkenalkan diri. Hadirin pun heran. Agaknya, setelah keduanya menjelaskan bahwa mereka satu almamater, Pondok Modern Darussalam Gontor, secara perlahan, kesepahaman dapat dijalin, kesepakatan pun cair. Jadilah Aceh seperti sekarang.

Akan halnya pendiri Gontor sendiri, cukup unik. Semasa Soekarno, dua dari tiga orang pendiri PM Gontor dipercaya menduduki jabatan penting di pemerintahan, yaitu K.H. Zainuddin Fannani dipercaya menjadi Anggota Badan Pekerja MPRS, dan K.H. Imam Zarkasyi didudukkan sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A), juga menjadi salah satu wakil Islam di Dewan Perancang Nasional (sekarang Bappenas), dan diutus presiden mengunjungi Uni Sovyet pada tahun 1961. Semasa pemerintahan Presiden Soeharto, selain ketua MP3A, K.H. Imam Zarkasyi juga mendapat amanat sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia. Apakah hal itu menunjukkan Pak Zarkasyi bunglon? Oh, tidak. Justru hal itu menunjukkan bahwa Gontor tidak ke mana-mana tetapi ada di mana-mana.

Maka, pesan saya, jika melihat alumni Gontor jangan hanya dari satu sisi, melainkan menyeluruh, nanti akan terlihat kelebihan-kelebihan mereka. Bagi para alumni Gontor, kalau mulai curiga terhadap Gontor, silakan segera menjenguk pondok, supaya tidak ketinggalan informasi! Yang perlu diketahui, mengunjungi pondok tidak bisa digantikan dengan membaca berita tentang pondok; lain rasanya, lain sensasinya, sebab lain pula atmosfernya. Para kiai pendiri itu bahkan tidak menginginkan kuburannya menjadi prioritas kunjungan, sebab menggunjungi dan mendoakan pondok itu sama saja dengan mendoakan para almarhum itu.

Wallahu a’lam bishshawab. Mohon ditambah jika kurang, atau dikoreksi jika salah! Semoga bermanfaat!

Gontor, 10 Syawwal 1438

Drs. H. Nasrulloh Zainul Muttaqin

Popular Articles