Date:

Share:

Kiai Syukri: Kamu itu Anak Macan

Related Articles

Kyai Syukri Dalam Kenangan Santrinya

Oleh:Hadiyanto Arief

Sore hari di akhir tahun 2006, di salah satu rumah sakit di Jakarta Selatan saya mendapat kejutan tak terduga dari seorang yang saya tak pernah bayangkan sebelumnya.

Kyai Abdullah Syukri Zarkasyi, yang biasa dikenal santrinya di Gontor dengan panggilan Pak Syukri, datang berkunjung. Saat itu saya memang sedang mendapat giliran menjaga Ibunda yang sedang dirawat di RS tersebut. Ayah saya, Andin, begitu Kyai Syukri memanggilnya, memang bersahabat dengan Kyai Syukri. Selain adik kelas di Gontor, mereka juga sama2 diamanahi mengawal perjuangan Pesantren Darunnajah.

Kejutan waktu itu ada dalam bentuk permintaan Kyai Syukri yang tak biasa setelah kunjungan singkat tersebut. Ia mengambil kunci mobil sedannya dari supirnya dan menyerahkan kepada saya seraya berkata, “ayo, antar saya cari makan”.

Masih dalam kondisi terkejut, saya hanya menuruti apa permintaan beliau. Kuarahkan mobil yang kami kendarai ke sebuah restoran cepat saji di dekat rumah sakit tersebut..

Sambil menikmati hidangan cepat saji yang ia pesankan untuk kami berdua, kami mulai berbincang santai, perbincangan layaknya seorang anak dan ayahnya, perbincangan yang menjadi titik yang paling menentukan dalam hidup saya setelahnya.

Berbulan bulan sebelum kedatangan beliau ke RS tersebut, saya memang baru saja pulang dari Inggris setelah menyelesaikan kuliah master saya. Masa masa itu adalah momen dimana diri ini berada dipersimpangan besar. Galau memilih jalur yang harus ditempuh. Titik krusial dimana saya harus menentukan arah jalan yang diambil.

Ada dua pilihan terbentang, apakah akan memilih jalur profesi diluar di dunia hukum seperti yang diharapkan oleh Ibunda, ataukah memilih jalur berjuang di pesantren.
Almarhum Ibunda adalah seorang dokter lulusan PTN ternama di Jogjakarta yang bukan jebolan pesantren. Ia memang berpesan untuk diriku agar jangan pernah menggantungkan hidup di pesantren, dan justru kalau bisa mencari penghidupan diluar dan bisa membantu pesantren dari luar. Seperti yang bapak saya jalankan dengan profesi notarisnya. Begitulah mindset yang ada selama ini di fikiran beliau, pesantren itu tempat mengabdi, jangan gantungkan hidupmu disana.

Amanah Ibunda itulah yang menjadi alasan utama kenapa diri ini memilih jurusan Hukum di sebuah almamater Ibu di Jogjakarta tersebut. Berharap suatu hari bisa meneruskan profesi notaris Ayahanda atau minimal menjadi konsultan hukum di Ibukota. Profesi yang kira-kira sangat menjanjikan untuk jiwa muda yang tumbuh di Ibukota lulusan universitas ternama dan sedang mencari jati diri.

Kembali ke moment berdua dengan Kyai Syukri, moment singkat yang tak lebih dari satu jam bersamanya adalah moment yang membuat saya akhirnya mengambil keputusan besar untuk mengambil jalur yang tidak mudah.

Pembicaraan santai penuh makna di sebuah restoran cepat saji itu rupanya menjadi setruman kejutan nan dahsyat yang menyadarkan alam bawah sadar yang selama ini sebenarnya sudah beliau desain dan harapkan. Nilai-nilai perjuangan pondok yang disampaikan dengan gaya khas Soekarno-nya, berapi api yang biasa beliau sampaikan kepada santri di balai pertemuan dulu menyiram kesadaran diri layaknya air hujan yang mengguyur pohon yang layu ini.
Inti dari nasihat beliau sore ini terangkum dalam kalimat yang saya tak bisa lupakan saat hingga hari ini: “Kamu itu anak macan. Ditakdirkan mengurus urusan besar. Urusan ummat. Jangan kau rendahkan dirimu mengurus hal keduniawiaan yang tidak terkait dengan kepentingan ummat”.

Kata-kata yang beliau sampaikan sore itu membangunkan memori di kepala terkait nasihat-nasihat terkait nilai nilai perjuangan yang sering beliau sampaikan kepada seluruh santri dulu. Terlintas jelas dikepala kritik keras untuk lembaga pesantren yang diwakafkan kakekku, yang beliau sempat sampaikan di depan seluruh santri tahun 1995 saat saya duduk di kelas 5 TMI, “Keikhlasan sudah berkurang di pondok itu, biar dia yang memperbaiki!”

Pesan yg disampaikan puluhan tahun lalu itu menemukan konteksnya sore itu. Percakapan itu layaknya pukulan jab yang beliau hantamkan ke ulu hati seorang petinju yang akhirnya membuat saya luluh dan berbalik arah menyadari ketidakyakinan saya akan sakralnya sebuah amanah perjuangan.

Segera setelah beliau mengantar saya kembali ke RS, saya menghadap Ibunda yang sedang berbaring di ICU. Memohon restunya utk meninggalkan cita cita dunia dan menjalani hidup untuk membesarkan pesantren wakaf ini.

Kisah kecil yang saya alami ini menggambarkan kepribadian dan kepemimpinan Kyai Syukri yang luar biasa.

Perhatian personal beliau kepada santri dan kader-kader alumni menjadi salah satu kekhasan yang sulit dicari tandingannya.

Selain orator dan motivator ulung yang sambutannya selalu ditunggu tunggu oleh setiap santri dan audience,beliau memiliki kehkhasan lain, yaitu pendekatan humanisme. Pendekatan personal yang sanggup membuat kepercayaan diri setiap santri merasa istimewa dan merasa seperti nelayan yang mampu menerjang badai di samudera ganas.

Perhatian yang tidak didapat oleh anak-anak kandungnya saja, tetapi juga anak ideologisnya yang tersebar di pelosok negeri bahkan dunia.

Perhatian beliau seperti itu tidak berhenti dititik itu. Dalam perjalanan membesarkan pondok kecil di Cidokom, Bogor, saya harus mempersiapkan segala jawaban dari pertanyaan pertanyaan yang beliau ajukan setiap ada kesempatan bertemu dengan saya. Detail jumlah santri, progress pembangunan, usaha pendanaan dan program apa yang saya kerjakan di pondok adalah sebagian kecil yang selalu ia tanyakan.

Salah satu kenangan yang paling dalam yang menggambarkan kualitas luar biasa dari kepemimpinan beliau adalah saat perbincangan terakhir saya dengan beliau melalui sambungan telpon.
Pada tahun 2012, tak lama setelah saya hijrah di Cidokom, saya mendapat kejutan terakhir kalinya dari beliau.

Waktu itu beliau sudah dalam kondisi sakit terkena serangan stroke. Ingatan terhadap orang-orang yang disekililingnya termasuk keluarga terdekatnya sudah sangat berkurang.
Itulah kenapa saya setengah tidak percaya ketika melihat layar handphone saya muncul panggilan dari beliau: KH Syukri Zarkasyi!

Diujung telpon terdengar suara salah satu guru senior, yang mengkonfirmasi identitas saya. Guru itu mengatakan, bahwa Kyai Syukri ingin berbicara.
Sesaat kemudian, terdengar suara khas Kyai Syukri, yang saat itu dalam kondisi sakit, tapi mengejar saya dengan pertanyaan pertanyaan terkait tugas yang ia berikan.

Bagaimana perjuanganmu? Apa program2mu? Sudah berapa banyak santrimu? Dan satu kalimat yang membuat saya gemetar: “Kamu harus lebih keras! Kamu harus berjuang lebih keras lagi!”

Belakangan, setelah telpon itu saya menelpon balik ke guru senior tadi. Bertanya kok bisa-bisanya beliau menelpon saya dalam kondisi sakit. Guru itu mengatakan, bahwa sebenarnya beliau sendiri tidak mengingat nama saya, tapi beliau minta kepada istrinya untuk dihubungkan kepada saya,: “saya mau bicara dengan anaknya Andin! Anaknya Andin yang aktif di pondok itu!

Subhanallah. Bahkan dalam kondisi sakit yang mengurangi daya ingatnya dan mendekatkan ke kematian, yang muncul di dalam memori terdalam beliau adalah tugas-tugas yang ia berikan kepada kader-kader Islam yang beliau bina. Kewajiban yang telah beliau lakukan dan menguras sebagaian besar energy dan perhatian beliau selama hidupnya.

Keteladanan yang sedikit banyak mungkin beliau dapatkan dari keteladanan Sang Nabi Yang Agung didalam masa singkat kerasulannya menyiapkan kader-kader Sahabat penerus perjuangan Islam, yang pada saat saat sakaratul mautpun hanya memikirkan ummatnya: Ummati, ummati..

Allahumma sholli ‘alaa Muhammad..

Popular Articles