Date:

Share:

Kekuatan Doa dan Mujahadah Trimurti Pendiri Pondok Modern Gontor

Related Articles

Sejak tahun 1926, Gontor telah memantapkan langkahnya untuk menjadi lembaga pendidikan yang mendidik kader-kader umat pemimpin masa depan, mencerdaskan bangsa dan menjadi mundzirul qaum yang selalu berdakwah kepada kebenaran dan memerangi kebathilan. Bila melihat kondisi pada saat itu, tentu tidak mudah bagi Gontor untuk bisa mempertahankan misi sebesar itu. Namun pada faktanya, hingga saat ini Gontor telah genap berusia 95 tahun dan masih eksis mengemban amanat tersebut. Belasan kampus cabang bahkan puluhan pondok alumni telah berdiri di berbagai daerah yang tersebar di seluruh Indonesia. Alumni-alumninya pun banyak yang sudah berkiprah dan menunjukkan kontribusi nyatanya untuk umat Islam, baik di dalam negara maupun mancanegara. Semua itu tidak lepas dari usaha para Trimurti berikut seluruh keluarga besar PMDG yang terlibat, serta tidak lupa pula kekuatan doa dan mujahadah yang menjadi tirakat para Trimurti.

Berkenaan dengan doa dan mujahadah Trimurti saat mendidik para santrinya dan mendirikan pondok, ada kisah menarik yang bisa kita jadikan pelajaran berharga.

Awal mulanya ketika salah satu Trimurti, K.H. Ahmad Sahal, di usianya yang masih 26 tahun ikut pergi ke Surabaya untuk menghadiri sebuah perkumpulan. Di sana akan dipilih utusan untuk mengikuti Muktamar Alam Islami yang diselenggarakan di Mekkah, kala itu pada kisaran bulan Juni tahun 1926. Namun keikutsertaan itu memiliki syarat, yaitu harus bisa berbahasa Arab dan Inggris sekaligus. Akhirnya, yang berangkat untuk mewakili Indonesia adalah K.H. Mas Mansur dan H. Oemar Said Tjokroaminoto.

Tahu karena memiliki kekurangan dalam berbahasa, K.H. Ahmad Sahal pun akhirnya tidak menjadi yang terpilih untuk mewakili Indonesia. Tapi itu tidak membuatnya putus asa. Seketika beliau beranjak dari sana, beliau pun bertekad, “Saya akan pulang ke kampung halaman saya, akan saya didik anak-anak saya untuk bisa menjadi seperti Cokroaminoto dan KH Mas Mansur”.

Setibanya di sana, beliau mengumpulkan anak-anak kampung sekitar di sebuah masjid yang saat ini kita kenal dengan nama “Masjid Pusaka”. Anak-anak yang terbiasa tidak pakai sandal, tidak pakai baju (melepas kaos) ketika biasanya bermain di luar rumah, beliau kumpulkan untuk kemudian diajarkan mandi dan berpakaian rapih untuk shalat.

Pada mulanya mereka sulit dikumpulkan. Namun beliau tidak kehabisan akal. Beliau belikan untuk mereka mercon yang sering mereka gunakan untuk bermain, lalu kemudian beliau bermain silat, menunjukkan kebolehan beliau di depan mereka, bahkan memanjat naik ke atas pohon kelapa. Anak-anak pun senang, hingga akhirnya nyaman bersama beliau.

Setelah itu, barulah beliau ajarkan bahasa Arab dan Inggris. “haadzaa kitaabun, haadzihi kurroosatun…!” “this is book, that is pen, I am a student” dan masih banyak yang lainnya. Namun tidak berhenti hanya di situ. Selain ber-mujahadah, beliau pun membarengi itu dengan doanya, “Mudah-mudahan menjadi Mas Mansur, mudah-mudahan menjadi Cokroaminoto, mudah-mudahan menjadi tokoh-tokoh Internasional”.

Ternyata tidak perlu menunggu lama, tidak sampai 30 tahun kemudian sudah ada salah satu alumninya yang memimpin Muktamar Internasional Asia-Afrika. Dalam satu waktu, di samping menjadi pemimpin Muktamar dan higher committee, beliau juga menyandang nama “PM Gontor” yang menjadi langkah awalnya untuk bisa memulai kiprah tersebut. Dan semua diawali dari doa dan mujahadah dari seorang biasa yang bertekad untuk mencerdaskan anak-anak bangsa dan mendidik calon pemimpin umat.

Begitulah bukti Kebesaran dan Kekuasaan Allah SWT. Walaupun hanya dimulai dari seorang tokoh yang tidak terkenal dari sebuah kampung di kota kecil, namun karena kekuatan doa dan mujahadah yang dilakukan dengan sungguh-sungguh menjadikan Allah malu untuk tidak mewujudkan keinginan tersebut. Akhirnya lahirlah alumni-alumni Gontor yang telah berkiprah di masyarakat dan menjadi tokoh baik nasional maupun internasional, dengan tetap menjaga modal utamanya semenjak menjadi santri. Sebagaimana yang beliau ucapkan pula dalam doanya, “Semoga menjadi ahli bahasa, mufassir, muhaddits, da’i, menjadi ‘aalim ‘ulamaa”. Tidak hanya menjadi intelek yang tahu agama, tapi harus menjadi ulama yang intelek.

Dikutip dari tausiyah yang disampaikan oleh Al-Ustadz Dr.H. Ahmad Hidayatullah Zarkasyi, M.A. dalam kesempatan Tau’iyah Diniyyah bersama siswa akhir KMI 2020 Prominent Generation.

Video Terkait Doa Pendiri Gontor untuk Santrinya:

 

Related Articles:

Keikhlasan Trimurti Dalam Mengajar

Peringati Kesyukuran 90 Tahun Gontor, PMDG Gelar Napak Tilas Perjalanan Trimurti ke Sooko

Telusuri Silsilah Trimurti, Gontor Menapaktilasi Sejarah Nenek Moyang ke Keraton Kasepuhan Cirebon

Popular Articles