Date:

Share:

Catatan Ustadz Suharto: Wisata Peradaban ke Jepang (Bagian IV)

Related Articles

Bersama Bapak Yamada
Bersama Bapak Yamada

Bapak Yamada, Petani Inspirator dan Motivator Jempolan
Selesai jamuan makan siang yang sangat mengesankan, kami melanjutkan perjalanan untuk meninjau teknologi pertanian di Kyoto. Seorang petani sukses berusia sekitar 45 tahun, Bapak Yamada, memiliki kreativitas tinggi dan keuletan dalam usaha. Apa yang sudah dicapai beliau berikut kiat-kiatnya benar-benar merupakan inspirasi bagi kami semua, bukan hanya untuk mengembangkan pertanian, tetapi juga untuk memajukan pesantren.

Yamada muda adalah anak seorang petani daun bawang. Sebagaimana petani daun bawang lainnya yang menggarap lahan tidak terlalu luas, penghasilan orang tuanya bisa dikatakan minim, hanya 6 juta yen setahun, itupun dikerjakan bertiga. Karena itulah, pada awalnya Yamada tidak tertarik sama sekali untuk melanjutkan usaha pertanian orang tuanya. Dia bekerja di sebuah perusahaan pakaian dengan penghasilan yang pas-pasan. Akhirnya Yamada muda terpanggil untuk mengembangkan pertanian orang tuanya, tetapi dia tidak mau hanya bertani secara konvensional. Baginya, bertani harus disertai impian, obsesi, dan target yang lebih baik, lebih intensif dan produktif.

Yamada melihat pertanian tidak banyak diminati para pemuda, penghasilannya sangat minim, modelnya masih konvensional dan tradisional. Para petani memang mempunyai usaha sampingan, tetapi seringkali tidak berkaitan dengan pengembangan pertanian mereka. Hari libur untuk para petani dalam setahun hanya 20 hari, sementara para pegawai bisa memiliki masa berlibur 100 hari, itu pun penghasilan para petani tidak bisa melampaui para pegawai. Banyak petani yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pabrik (konsumen), sementara para pedagang tengkulak yang menjualkan hasil pertanian ke konsumen mempunyai penghasilan jauh lebih besar dari petani itu sendiri. Itulah hal-hal yang menggelitik Yamada untuk membuat terobosan dalam bidang pertanian.

Untuk merevolusi pertanian keluarganya, langkah-langkah yang ditempuh Yamada adalah mencanangkan target penghasilan yang biasanya hanya 6–7 juta yen menjadi 100 juta yen. Sebabnya, di Jepang, seorang laki-laki yang bisa dikatakan mandiri dan mampu menghidupi keluarganya harus mempunyai penghasilan lebih dari 100 juta yen. Langkah berikutnya adalah berkonsentrasi menekuni satu jenis pertanian saja, yaitu bawang daun (koiju), karena hal itu akan mempermudah pengelolaan di samping mempermurah pembiayaan. Setiap hari bisa menghasilkan dan akhirnya bisa membuat kontrak kerja dengan para pembeli. Karena itu, Yamada mencoba mengatasi permasalahan produksi, bagaimana bisa melakukan produksi setiap hari, bukan musiman, karena kebutuhan dan permintaan juga harian. Kalau tidak sanggup menyediakan stok harian, tidak akan ada kontrak kerja.

Pada tahun pertama, hasil usahanya mencapai peningkatan, meskipun masih belum mencapai target, dari 6 juta yen menjadi 16 juta yen. Penghasilan tersebut dibagi, sebagian untuk konsumsi dan sebagian untuk pengembangan produksi. Pandangan masyarakat Jepang bahwa sayuran Kyoto lebih berkualitas dibanding wilayah lain sangat menguntungkan pertanian Yamada. Untuk itu, dia membangun citra sebagai penghasil bawang daun berkualitas khas Kyoto. Yamada menyadari bahwa untuk mencapai pengahasilan 100 juta yen, dia harus melipatgandakan produksi menjadi 10 kali lipat, dan hal itu tentunya tidak mudah, sementara lahan yang dimilikinya sangat terbatas. Langkah berikutnya adalah mempelajari sistem lelang hasil pertanian selama 3 bulan untuk mengetahui seluk-beluk dan alur perdagangan hasil pertanian dari tangan petani hingga pabrik atau konsumen langsung. Banyak orang yang tidak senang dengan langkah ini karena berpotensi merugikan mereka yang sudah mendominasi perlelangan ini, tetapi Yamada dengan gigih terus belajar langsung ke lapangan.

Tidak hanya berhenti di situ, Yamada juga belajar bagaimana daun bawang yang biasanya dijual utuh akan dipotong dengan rapi dan dikemas dengan indah, selanjutnya dikirim ke restoran-restoran yang membutuhkannya secara langsung. Ternyata hal ini mendapat respon sangat baik dari pihak restoran mie China yang banyak menyedot produksi daun bawang, karena mereka baru menemukan petani yang langsung menjual sayurannya dengan kemasan yang baik serta kualitas yang juga baik. Kontrak pun dibuat. Untuk memenuhi permintaan, dibutuhkan suntikan modal besar, membeli alat-alat pemotong yang baik, alat kemasan dan lain sebagainya. Sebenarnya, setiap usaha progresif yang dilakukan Yamada selalu ditentang orang tuanya, tetapi Yamada bergeming dan mengambil pelajaran dari peristiwa ini, “Kalau saya tidak bisa menyelesaikan permasalahan dengan orang tua saya, bagaimana saya bisa memajukan perusahaan ini?” kenang Yamada.

Karena permintaan semakin banyak, Yamada menggalang para petani lain untuk usaha ini. Pelatihan dan penyuluhan kerap dia lakukan. Asosiasi petani daun bawang dia bentuk, dan akhirnya banyak yang mendukung dan sama-sama berkembang. Yamada juga membuat brosur-brosur untuk memperluas jangkauan penjualan daun bawangnya. Pernah suatu ketika ada isu bahwa mie yang diimpor dari China mengandung racun. Hal ini berdampak cukup signifikan bagi restoran-restoran mie dan otomatis bagi daun bawang para petani. Tetapi hikmahnya cukup besar, yaitu kesadaran dan kebutuhan akan hasil pertanian yang baik, berkualitas, dan menyehatkan. Tahun demi tahun usaha Yamada dengan teman-temannya terus berkembang dan meningkat. Lahan pertanian semakin meluas, pabrik pengolahan semakin representatif, usaha juga dikembangkan dengan peternakan ayam petelor yang berkualitas untuk membuat kue, kotoran ayamnya untuk rabuk bawang daun, karena sayuran yang diminati adalah yang bebas dari pestisida. Demikianlah, hasil dari kreativitas, mengerjakan hal-hal yang tidak biasa dilakukan orang lain, pandangan ke depan yang visioner, kejujuran, keuletan, dan kerja keras tak kenal lelah telah menghantarkan Yamada menjadi petani sukses. Kalau dahulu penghasilannya hanya 6 juta yen, saat ini sudah mencapai 724 juta yen.

Saya sangat apresiatif akan kerja keras Yamada, tetapi saya tidak hanya melihat dari sisi pertaniannya semata, karena kiat dan rumusan yang dijalankan Yamada sejatinya bukan hanya untuk pertanian, tetapi berlaku universal, untuk pengembangan usaha apa saja, termasuk memajukan pesantren di Indonesia. Yamada bukan hanya sosok petani modern Jepang yang sukses, tetapi seorang motivator dan inspirator ulung. Kita bisa memajukan pesantren dengan jalan: mempunyai obsesi yang tinggi, target yang jelas, mempelajari segala hal yang dibutuhkan untuk menopang kemajuan, menjadikan hambatan sebagai tantangan untuk ditaklukkan, terus belajar, melakukan yang orang lain tidak melakukannya, suka berbagi dan membuat komunitas kebersamaan, ulet, jujur, tekun, pandai melihat peluang, komunikasi dan sosialisasi yang efektif dengan semua pihak, ditambah dengan kekuatan doa kepada Allah, insya Allah pesantren kita akan lebih maju lagi.

Ustadz Suharto memperlihatkan buku profil Gontor kepada Kepala Sekolah Toda-iji.
Ustadz Suharto memperlihatkan buku profil Gontor kepada Kepala Sekolah Toda-iji.

SMP-SMU Toda-iji
Setelah berkunjung ke pabrik daun bawang yang dikelola oleh Bapak Yamada, kami melanjutkan perjalanan dari Kyoto ke Nara. Kali ini kami menginap di Hotel Nikko Nara yang lokasinya satu komplek dengan sebuah stasiun kereta cepat. Nara adalah sebuah kota kuno yang sangat relijius di Jepang. Pada abad ke-17, Nara pernah menjadi ibukota Jepang sebelum dipindah ke Kyoto dan akhirnya ke Tokyo. Di kota ini ada sebuah kuil Budha yang sangat terkenal, namanya Kuil Todaiji, mempunyai bangunan kayu terbesar di dunia yang sudah masuk sebagai cagar budaya UNESCO, dengan taman luas yang dipenuhi ratusan ekor rusa jinak. Di bangunan utamanya terdapat patung Budha terbesar di Jepang setinggi 11 m. Setiap hari, kuil ini ramai dikunjungi oleh ribuan peziarah yang diharuskan membeli tiket untuk donasi operasional dan kegiatan sosial kuil berkisar antara 350 sampai dengan 500 yen.

Di tempat ini, kami mengunjungi sebuah sekolahan tingkat menengah (SMP dan SMU) yang dikelola oleh Kuil Toda-iji, kemudian berkunjung langsung ke kuil untuk bertemu salah seorang pendeta (biksu) senior di Jepang, Bapak Marimoto, yang juga bisa berbahasa Arab karena pernah belajar di Universitas Kairo Mesir selama satu setengah tahun. Visi dan misi sekolah ini adalah memberikan kemampuan akademis dasar untuk mampu melanjutkan ke perguruan tinggi, membentuk jiwa mandiri dan kebebasan kepada siswa, serta membangun jiwa humanisme yang kaya hati dan mempunyai kepedulian kepada orang lain, alam, hingga binatang.

Ketika kami mengadakan peninjauan, seperti di SD Takanawadai, kami menemukan suasana belajar yang bergairah. Anak-anak memang bebas berpakaian namun sopan (tanpa seragam). Guru sangat interaktif, komunikatif, dan menguasai masalah. Sarana dan fasilitas lengkap. Perpustakaan, laboratorium Mafikib, bahasa, komputer, sarana olah raga, gedung pertemuan, dan teater, semuanya memadai. Kegiatan olahraga dan ekstrakurikuler sangat maju. Anak-anak di SMP dan SMA Todaiji ini menjadi langganan juara berbagai lomba atletik, olahraga, bela diri Judo, dan olimpiade sains di tingkat regional maupun nasional. Saya mencatat pengajaran dan pengembangan sains menjadi andalan, penekanannya bukan pada menghapal tetapi pada pola pikir yang observatif, analisis, kreatif dan kritis. Lebih dari semua itu pendidikan karakter masih sangat kuat mewarnai program pendidikan dan pengajaran di sekolah ini.

Jepang Bagian IV (6)Kuil Toda-iji dan Pendeta Marimoto
Ketika berkunjung ke Kuil Toda-iji, Pendeta Marimoto menjelaskan bahwa ketika kuil dibangun oleh Kaisar Sumo di abad ke-8, Jepang masih merupakan negara muda, sehingga UU-nya diadopsi dari Cina. Hukum memang bisa mengontrol perilaku masyarakat, tetapi tidak bisa mengontrol hati manusia. Saat itu merupakan masa yang sulit bagi rakyat Jepang, banyak kemiskinan dan penyakit menular. Karena itu, Kaisar memerintahkan membangun kuil-kuil di setiap kabupaten. Setiap kuil membutuhkan 20 orang biksu dan biksuni (wanita). Kalau di Jepang ada 60 kabupaten, maka dibutuhkan 1.020 orang biksu dan biksuni, hal inilah yang mendorong didirikannya kuil Toda-iji sebagai tempat pembinaan dan pendidikan calon biksu dan biksuni. Pendeta Marimoto juga menambahkan bahwa dahulu ketika Jepang terseret dalam perang saudara, banyak kuil yang dibakar, termauk Kuil Toda-iji ini, namun kemudian direnovasi kembali.

Kunjungan ini berlanjut dengan dialog cukup lama di ruang khusus. Dalam kesempatan itu saya menyampaikan bahwa umat Islam Indonesia mempunyai harapan besar agar umat Islam Rohingya bisa hidup secara harmonis tanpa intimidasi dan permusuhan. Beliau juga menyesalkan hal itu dan menyatakan bahwa perang dan dendam bukanlah ajaran Budha. Beliau bertanya tentang Arab spring yang mengakibatkan gejolak perang dan kehancuran saat ini. Saya katakan, itu tidak ada sangkut pautnya dengan agama (Islam), melainkan hanya persoalan politik, karena rakyat sudah bosan hidup di bawah penindasan para tiran. Beliau pun setuju. Sebuah kunjungan dengan dialog yang sangat mengesankan. Setiap agama pastilah mempunyai ajaran-ajaran luhur yang universal, saling mengenal dan memahami akan bisa menggerus konflik dan perselisihan, bahkan bisa menguatkan jalinan kerjasama untuk kemajuan bangsa.

Osaka Castle
Pada hari berikutnya kami melanjutkan perjalanan ke Osaka dan Kobe. Kami berkesempatan mengunjungi Istana Osaka yang terletak di Distrik Chuo-ku. Istana Osaka berada di ujung paling sebelah utara daerah Uemachi, menempati lokasi tanah yang paling tinggi dibandingkan dengan wilayah sekelilingnya. Istana Osaka merupakan bangunan peninggalan budaya yang dilindungi oleh pemerintah Jepang. Menara utama Istana Osaka yang menjulang tinggi merupakan simbol Kota Osaka.

Jepang Bagian IVIstana Osaka dimanfaatkan sebagai istana sekaligus benteng sejak zaman Azuchi Momoyama hingga zaman Edo. Istana Osaka yang ada sekarang terdiri dari menara utama yang dilindungi oleh dua lapis tembok tinggi yang dikelilingi oleh dua lapis parit, parit bagian dalam (uchibori) dan parit bagian luar (sotobori). Air yang digunakan untuk mengaliri parit istana diambil dari Sungai Yodo, mengalir di sebelah utara Istana Osaka. Di sudut sebelah barat daya Ninomaru, terdapat Pintu Gerbang Otemon (Gerbang Besar) yang merupakan pintu masuk utama ke seluruh kompleks istana. Menara pengawas yang ada di atas Pintu Gerbang Otemon disebut Tamon Yagura. Di sebelah utara Tamon Yagura terdapat menara pengawas bertingkat dua Sengan Yagura dengan gaya arsitektur zaman Tokugawa.

Walaupun berstatus bangunan lama, Istana Osaka memiliki sistem konstruksi yang kuat serta artistik, menunjukkan peradaban tinggi yang sudah lama dimiliki orang-orang Jepang. Bangunan-bangunan utamanya terdiri dari kayu-kayu besar terbaik yang ada di seluruh profektur (propinsi) Jepang sebagai persembahan dan bukti loyalitas rakyat terhadap Kaisar. Demikian pula batu-batu yang dipasang pada dinding benteng, mempunyai bobot ratusan ton. Untuk zaman sekarang, mungkin banyak alat berat bisa mengangkat batu-batu itu, tetapi bagaimana jika itu ratusan tahun lalu? Teknik apa yang mereka pakai? Semua itu hanya menyisakan kekaguman kami atas etos kerja luar biasa yang dimiliki bangsa Jepang. Menjelang pukul 11.00 waktu Osaka, kami bergegas kembali ke bus untuk melanjutkan perjalanan ke Konjen RI di Osaka guna melaksanakan shalat Jum’at.

Jepang Bagian IV (7)Menjadi Khatib Dadakan
Tiba di kantor Konjen, kami disambut Bapak Bambang, Konjen RI di Osaka. Beliau bercerita, sebelum 1995, kantor Konjen RI berada di Kobe, namun karena hancur terkena gempa, akhirnya dipindah ke Osaka, kebetulan di Osaka juga banyak WNI yang tinggal, baik sebagai pekerja maupun pelajar.

Saat ibadah shalat Jum’at sudah tiba, ruang tamu disulap menjadi mushalla. TGH Abdul Karim yang kami juluki sebagai mufti, karena menjadi rujukan dalam berfatwa, menunjuk saya sebagai khatib dan beliau sendiri yang menjadi imam. Menurut beliau, hal ini sudah ditawarkan kepada teman-teman yang lebih senior, namun semua menolak. Khutbah saya singkat saja, mengaitkan hijrah dengan perjalanan kami sebagai starting poin menuju perubahan yang lebih baik.

Masjid Kobe, Masjid Tertua di Jepang
Dari kantor Konjen RI, kami menuju Kobe untuk shalat Maghrib di Masjid Kobe, masjid tertua dan pertama di Jepang yang dibangun pada tahun 1928 di kawasan paling terkenal di Kobe, Nakayamate Dori, Chuo-ku. Masjid ini berdiri sangat kokoh dan anggun di antara bangunan-bangunan berarsitektur Eropa lainnya. Hal ini bisa dilihat dari kubah besar dan dua buah menara kembar di sampingnya.

Masjid Kobe
Masjid Kobe

Menurut catatan sejarah, pendirian masjid ini tidak terlepas dari kedatangan para pedagang Muslim yang berasal dari wilayah India dan Timur Tengah ke kota Kobe seabad yang lalu. Jumlah para pedagang Muslim yang tinggal di Kobe pada awal tahun 1900-an masih terbilang sedikit. Mereka biasa melaksanakan berbagai kegiatan keagamaan di rumah-rumah atau aula hotel. Pada tahun 1920-an, jumlah komunitas muslim di Kobe kian tahun kian meningkat. Akhirnya, mereka segera memutuskan untuk membangun Masjid Kobe.

Beberapa sumber menyebutkan bahwa perancang Masjid Kobe adalah seorang arsitek asal Ceko bernama Jan Josef Svagr. Arsitek inilah yang telah merancang banyak bangunan bergaya Barat di Jepang. Svagr merancang masjid ini dengan gaya Turki tradisional. Masjid Kobe ini pernah menjadi korban keganasan Perang Dunia II. Akibat dari serangan itu, Kota Kobe bisa dibilang rata dengan tanah. Sebagian besar bangunan luluh-lantak. Tapi, keajaiban terjadi. Masjid Kobe tetap berdiri tegak, subhanallah. Masjid ini hanya mengalami keretakan pada dinding luar dan semua kaca jendelanya pecah. Bagian luar masjid menjadi agak hitam karena asap serangan bom.

Pemerintah Arab Saudi dan Kuwait menyumbang dana renovasi dalam jumlah yang besar. Kaca-kaca jendela yang pecah diganti dengan kaca-kaca jendela baru yang didatangkan langsung dari Jerman. Sebuah lampu hias baru yang indah digantungkan di tengah ruang shalat utama sehingga membuat megah masjid ini. Sistem pengatur suhu ruangan dipasang untuk membuat nyaman para jamaah masjid. Umat Islam kembali menikmati kegiatan-kegiatan keagamaan mereka di Masjid Kobe. Donasinya bahkan bisa membuat Masjid Kobe menjadi semakin berkembang pesat. Pada tahun 1992, Masjid Kobe memiliki fasilitas untuk pusat kegiatan Islam berupa bangunan kelas, ruang resepsi, perpustakaan, kantor, dan bangunan apartemen.Jepang Bagian IV (9)

Ketahanan Masjid Kobe pernah diuji kembali pada 17 Januari 1995. Kali ini dengan gempa berkekuatan 7,2 skala Richter, yang dinamakan gempa Hanshin-Awaji. Walaupun kota Kobe saat itu hancur berantakan, tetapi Masjid Kobe tetap berdiri kokoh di antara puing-puing bangunan di sekitarnya. Pemandangan luar biasa ini membuat Masjid Kobe menjadi sorotan penting dalam pemberitaan di media massa. Tidak heran jika masjid ini menjadi tempat penyelamatan bagi para korban gempa dan sekali lagi menjadi tempat pengungsian warga Kobe.

Popular Articles