Date:

Share:

Ulama dan Pesantren

Related Articles

Pesantren Mendidik Ulama
Pesantren Mendidik Kader Umat

Di Indonesia, kata ulama digunakan untuk menyebut orang-orang yang berkompeten di bidang agama. Padahal, di tempat lain biasanya menggunakan istilah syaikh. Sedangkan istilah ulama biasanya untuk menyebut para ilmuwan di berbagai disiplin ilmu secara umum, tidak digunakan khusus untuk orang-orang yang ahli di bidang agama. Penggunaan istilah ulama di Indonesia memang unik, karena istilah ini khusus disematkan pada orang-orang yang menguasai ilmu agama.

Untuk disebut ulama, ada kriteria yang harus dipenuhi, yaitu akrab dengan Al-Qur’an. Setidaknya, seseorang telah mengkhatamkan 30 juz dan benar-benar mengetahui serta memahami isinya, tahu arti dan makna setiap kata di dalam Al-Qur’an. Tidak ada satu titik yang terlewat tanpa ia tahu penjelasannya dengan gamblang. Persyaratan ini hanyalah syarat paling minimal bagi seseorang agar termasuk golongan ulama.

Penguasaan Al-Qur’an memanglah syarat minimal, tapi syarat ini sangat fundamental karena dengan inilah seseorang bisa tahu pandangan wahyu terhadap segala hal. Apabila ia tidak menguasainya, maka ia akan bergantung pada akalnya saja dalam menyikapi segala persoalan kehidupan. Padahal, sumber petunjuk itu adalah wahyu, bukan semata-mata akal. Tanpa bimbingan wahyu, akal bisa tersesat.

Dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an, ulama itu harus disertai dengan hidayah. Para orientalis bisa mengkaji Al-Qur’an, tapi mereka mengkajinya tanpa hidayah. Sesungguhnya hidayah itu membuahkan iman yang mutlak atas kebenaran ajaran Islam. Baik bagi si pintar maupun si bodoh, iman itu mutlak. Sebab, dengan imanlah akan lahir khasyyah, sikap khas ulama seperti disebutkan di dalam Al-Qur’an.

Kata ulama hanya disebut dua kali di dalam Al-Qur’an. Pertama, ulama yang khasyyah (‘takut’) kepada Allah. Kedua, ulama Bani Israil yang ingkar. Maka, bila tidak bisa menjadi yang pertama, ulama itu akan jatuh mengikuti sifat yang kedua.

Seharusnya, para ulama tidak boleh berdiskusi lagi mengenai persoalan-persoalan qath’i dalam keyakinan Islam. Sesuatu yang diyakini itu tidak usah lagi didiskusikan. Hal-hal tersebut harus dipertahankan dan diyakini hingga mati. Jangan memberikan pintu masuk, jendela, ventilasi, atau lubang sekecil apapun untuk mendiskusikan dan meragukan kebenaran akidah kita. Tidak ada kebenaran yang setengah-setengah atau seperempat. Kebenaran itu harus mutlak sepenuhnya.

Masih banyak lagi syarat yang lain untuk disebut ulama. Adapun tempat untuk mendapatkan syarat-syarat itu adalah pesantren. Mungkin jika bukan satu-satunya, maka pesantren adalah salah satu tempat mencetak ulama. Nilai keyakinan yang kokoh juga hanya bisa diperoleh di pesantren. Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang unik. Ia menjadi benteng kultural yang kokoh hasil desain seorang kiai.

Dalam membina pesantren, kiai tidak perlu berkompromi dengan siapa pun, terutama dalam mengatur kehidupan di pesantren. Dari lurah sampai UNESCO-nya PBB, atau partai-partai, hingga presiden pun tidak boleh mengintervensi pesantren. Intervensi adalah kezaliman. Dengan begitulah pesantren bisa bertahan sebagai lembaga pendidik umat berabad-abad lamanya. Gontor salah satu pesantren yang bisa bertahan dengan cara ini.

Pesantren menjadi benteng umat terutama pasca runtuhnya khilafah Islamiyah. Penjajah mencoba meruntuhkan pesantren di mana-mana. Di Syanggit, pesantren-pesantren tradisional berkurang karena ulah penjajah. Pesantren terbukti menjadi lembaga yang paling anti penjajah dan penjajahan. Pada saat jatuhnya khilafah Islamiyah itulah Gontor berdiri dengan mengusung misi pendidikan, membentengi umat dari pengaruh penjajah dan penjajahan. Pesantren sangat anti penajajahan sebab Islam adalah agama pembebasan dari penghambaan selain kepada Allah. Pesantren menegaskan bahwa manusia itu hanya boleh tunduk kepada Allah.

Pesantren berdiri karena ada rasa keterpanggilan dari seorang kiai untuk mendidik dan membina umat. Pondok tercipta karena adanya shibghah: jati diri, bina diri, tahan diri, lalu lahirlah harga diri. Maka, kamu harus bangun. Renungkanlah Surat Al-Muddatstsir dan Al-Muzzammil! Kenikmatan dunia ini adalah selimut yang harus kamu singkirkan. Qum fa andzir! Perintah ini turun kepada setiap Muslim. Bila kalian membaca Al-Qur’an, atau mempelajari syariat, maka sadarlah sepenuhnya bahwa Al-Qur’an dan syariat itu untukmu. Syukurlah jika nanti bisa kau ajarkan kepada orang lain.

Pesantren berjalan karena niat ikhlas individu pejuang di dalamnya. Setiap orang menjaga semua niat agar hanya untuk Allah. Mereka bahkan tidak pernah berniat untuk berbuat baik agar diteladani. Teladan akan lahir sendiri, maka berniatlah hanya untuk Allah. Dunia ini sedang sakit. Umat ini sedang sakit. Maka, jadilah dokter untuk mengobati dunia yang sakit ini. Dokter itu tidak boleh marah-marah, tidak boleh menangis iba saja, tidak boleh menanya-nanya saja. Dokter itu harus segera mengambil langkah untuk mengobati penyakit pasiennya secepat mungkin. Ia harus bertanggung jawab hingga si pasien sehat kembali. Ulama yang dididik di pesantren itu harus bertanggung jawab merawat umat hingga sembuh.

Pesantren itu didirikan dan dirawat oleh kiai. Maka, yayasan itu seharusnya berada di bawah kontrol kiai. Pondok pesantren berfungsi mendidik, bukan dididik (didikte pihak luar). Pesantren itu, pada hakikatnya, adalah sebuah benteng moral dan iman. Gedungnya bisa dibakar. Kiai, santri, dan ustadz-ustadz bisa dibunuhi, namun jiwa pesantren tidak akan mati. Di pondok, jiwalah yang penting bukan badannya, nilai-nilai itu yang penting bukan institusi fisiknya.

Intervensi pihak luar yang tidak memahami jiwa dan nilai itu hanya akan merusak pesantren. Hal ini terbukti dengan kokohnya pesantren-pesantren di Indonesia yang tanpa intervensi, walaupun sistem pendidikan nasional penuh dengan gonjang-ganjing perubahan kurikulum dan isu-isu miring lainnya. Pesantren tidak akan mengganggu, sehingga janganlah diganggu. Struktur dan kultur pesantren harus dijaga dari intervensi pihak luar. Walaupun intervensi itu mengatasnamakan kebaikan, reformasi, dan lain sebagainya.

Kiai adalah figur sentral di pesantren. Kiai yang berada di bawah bayang-bayang organisasi tertentu akan ambruk. Kehormatan seorang kiai merupakan buah dari kepribadiannya. Ia jujur tanpa pengawasan KPK, polisi, atau lembaga hukum lainnya. Konsistensi dan independensi kiai ini tercermin juga pada santri dan pesantren secara umum. Sebab, kiai mewariskan nilai-nilai kebaikan hidup. Pesantren itu harus menjadi miniatur kehidupan.

Kiai mengarahkan dan mengawasi dinamika pondok yang terbina dan konsisten. Setelah itu, dinamika ini akan berjalan di dalam kebersamaan dengan tiga energi: ikhlas, ridla, dan berkah. Setiap warga pondok memberi dan menerima dengan ikhlas. Dengan tiga semangat itu, dinamika di pesantren berjalan sakral. Mulai dari makan, tidur, hingga belajar pun sakral. Suasana itu bisa tercapai karena dilakukan demi mencapai ridla Allah.

Namun, semua tatanan tadi akan hancur jika disusupi penyakit-penyakit pesantren. Salah satunya adalah egoisme keduniaan. Sesungguhnya Islam tidak menafikan hal-hal individual dan egoistis. Dalam ajaran Islam, di akhirat kelak, seseorang itu akan bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Di dalam kubur ia sendiri, menghadap Allah pun ia sendiri. Tapi, kita tidak bisa hidup sendiri. Egoisme dan individualisme dalam bersosialisasi di dunia sangat berbahaya. Egoisme akan merusak pesantren karena mematikan amar ma’ruf dan nahi munkar. Orang yang egois dan individualis itu merasa kaya, merasa pintar, merasa cukup sehingga tidak mau berinteraksi. Ia merasa memiliki kelebihan sehingga mengganggap orang lain lebih rendah. Orang egois juga mementingkan kejayaan dirinya sehingga menjadi oportunis yang licik.

Jadilah kalian pendidik. Kalian akan tarik-menarik dengan penjajah yang juga terus mendidik manusia. Penjajah mendidik manusia menjadi 3B: boneka, badut, dan budak. Sedangkan kalian mendidik mereka menjadi manusia bebas yang hanya menghamba kepada Allah.* elk

 

*Disampaikan oleh K.H. Hasan Abdullah Sahal dalam sebuah munasabah tentang kepesantrenan di Pondok Modern Darussalam Gontor.

Popular Articles