Date:

Share:

Tawuran Antar Pelajar, Haruskah Terjadi (Lagi)?

Related Articles

tawuran antar pelajar, sesuatu yang langka di pesantrenDalam beberapa minggu terakhir ini, di beberapa kota di Indonesia terjadi (lagi) tawuran antar pelajar. Ia seolah menambah daftar hitam tawuran pelajar/mahasiswa yang sering terjadi di Republik ini. Kali ini, tawuran yang terjadi sudah begitu memprihatinkan. Hal ini karena jatuhnya korban jiwa yang tidak sedikit di antara pelajar yang terlibat di dalamnya. Sebuah fenomena yang menampar dunia pendidikan kita.

Muncullah kemudian berbagai opini dari para pemerhati dan praktisi pendidikan. Ada yang menuding sekolah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab karena tawuran tersebut terjadi antar pelajar suatu sekolah dengan pelajar dari sekolah lain. Lebih dari itu, sekolah juga dianggap secara tidak langsung melegalkan kekerasan kepada para muridnya melalui beberapa kegiatan dalam MOS (Masa Orientasi Siswa) yang sering dijumpai di banyak sekolah. Sehingga, tanpa disadari, murid terwarnai oleh hal itu. Sementara itu, sebagian yang lain menyalahkan orang tua. Mereka dianggap tidak mampu mengawasi dan mendidik anaknya dengan baik sepulang dari sekolah. Kebanyakan orang tua ditengarai acuh terhadap perilau anaknya di luar rumah. Tidak sedikit pula yang menuding sistem pendidikan di Indonesia yang bermasalah.

Namun, apapun opini yang berkembang, yang jelas kita sepakat bahwa tawuran tersebut merupakan tindakan negatif, kontra produktif, dan merugikan semua pihak. Tindakan brutal itu tidak layak dilakukan oleh pelajar yang di pundaknya terdapat tanggung jawab sebagai generasi penerus bangsa. Masa depan negeri ini ada di tangan mereka.

Fenomena tawuran di atas, dalam konteks kekinian, jika ditambah dengan semakin kompleksnya permasalahan bangsa saat ini; mulai dari budaya plagiarism di lingkungan akademis, penyalahgunaan obat terlarang, hingga korupsi dan kolusi yang seolah tidak ada habisnya, memunculkan sikap pesimis dan apatis terhadap dunia pendidikan. Karena oknum-oknum yang terlibat dalam “kejahatan” tersebut justru adalah orang-orang yang lahir dari dunia pendidikan. Lihat saja para oknum pelaku plagiarism, banyak yang ternyata mengenyam pendidikan yang sangat tinggi. Penyalahgunaan obat-obatan terlarang juga demikian halnya. Begitu juga dengan korupsi, tidak ada bedanya.

Maka muncullah kemudian beberapa buku yang provokatif seperti “Berhentilah Sekolah Sebelum Terlambat”, “Pendidikan Rusak-Rusakan”, dsb. Karya yang senada dengan itu sebenarnya pernah muncul pada tahun 1971, berjudul “Deschooling Society” yang ditulis oleh Ivan Illich, seorang filsuf humanis dari Austria. Ia melihat bahwa sekolah formal telah memasung kebebasan dan perkembangan manusia. Ia dianggap sama sekali tidak memadai bagi perkembangan anak-anak dan kaum muda. Oleh karena itu, ia menawarkan konsep masyarakat tanpa sekolah. Menurutnya,  pendidikan bisa dilaksanakan di luar institusi itu.

Gagasan Illich di atas tentu saja harus disikapi secara bijak oleh praktisi pendidikan. Ia seharusnya dijadikan bahan evaluasi untuk kelangsungan proses pendidikan yang berkualitas di sekolah. Pendidikan di sekolah harus dimulai dari keteladanan guru-gurunya dalam berperilaku. Pendidikan disekolah harus mengembangkan anak didik secara utuh; fisik, intelektual, mental, dan spiritual. Para murid harus dibiasakan hal-hal yang baik dalam kehidupannya. Mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi. Setiap apa yang dilakukannya di sekolah harus mendapat bimbingan, arahan, dan pengawalan dari para gurunya. Lebih dari itu, pragmatisme dalam pendidikan yang hanya mengejar ijazah, pekerjaan, dan menafikan nilai-nilai Agama harus ditinggalkan. Jika demikian, karakter para pelajar akan terbentuk dengan baik. Sehingga pada gilirannya nanti, tidak ada lagi pelajar yang tawuran dan  mahasiswa yang anarkis. Semoga. AbuNuya

* foto diambil dari www.republika.co.id

 

Popular Articles