Date:

Share:

Self-Help

Related Articles

self-helpZaman berubah dengan sangat cepat. 20 tahun yang lalu, di Gontor listrik belum ada, santri-santri belajar menggunakan penerangan dari petromak atau ublik-ublik kecil yang mereka bawa di tempat mereka belajar, suasana terlihat seperti pasar malam dengan berbagai macam cahaya yang datang dari lampu penjual mainan atau makanan yang tersebar mengitari lapangan. Ketiadaan listrik menyebabkan seluruh pekerjaan dikerjakan secara manual. Semua dilakukan dengan sangat hati-hati dan tentu saja membutuhkan waktu yang lama; juga kesabaran yang lebih. Mereka harus mampu menyelesaikan persoalan yang ada dengan alat bantu yang sangat minim. Mereka harus mampu menolong diri sendiri untuk bisa keluar dari masalah yang dihadapi, sebab – zaman itu – tidak banyak hal yang bisa diharapkan di luar diri mereka, satu-satunya pilihan adalah; menolong diri sendiri! Menolong diri sendiri inilah yang diperdengarkan ke telinga kami – dalam banyak kesempatan – dengan istilah ‘self-help’.

Self-help menjadi satu-satunya pilihan bukan saja karena Gontor adalah lembaga  pendidikan swasta yang harus mampu menghidupi dirinya sendiri, namun lebih dari itu; ‘self-help’ adalah jiwa pesantren itu sendiri, jiwa anti penjajahan dan  intervensi. K.H. Hasan Abdullah Sahal (pimpinan dan pengasuh Pondok Modern Gontor) menyatakan; bahwa pesantren yang tidak anti penjajahan adalah pesantren palsu! Pesantren bohong! Pesantren yang tidak mampu menolong diri sendiri, sangat mudah diintervensi dan dijajah pihak luar. Self-help itulah rahim bagi lahirnya jiwa kemandirian; jiwa yang mengajarkan kepada Gontor untuk menegakan kepala memandang ke masa depan tanpa sedikitpun merasa rendah diri; jiwa yang akhirnya menjadi benih yang ditanam di hati para santrinya; bahwa menjadi santri Gontor adalah pilihan untuk berani hidup sekaligus berani mati; di atas hanya Allah di bawah hanya bumi!

Salah satu orentasi pendidikan di Gontor adalah bukan untuk menjadi pegawai, tidak bermakna bahwa Gontor anti pegawai negeri, karena terbukti banyak alumni Gontor yang juga menjadi pegawai negeri. Bukan menjadi pegawai lebih berkaitan dengan orentasi pendidikannya yang lain; yakni kembali ke masyarakat; menjadi mundzirul-qaum; mungkin saja, menjadi pegawai akan menyita waktunya untuk pekerjaan kepegawaiannya dan ditakutkan akan melupakan tugasnya di masyarakat, waktunya menjadi terikat dengan waktu orang lain dan tentu saja bertentangan dengan jiwa kemandirian. Sebaliknya; diharapkan anak didik Gontor memiliki pegawai, dimana selain ia mampu hidup dengan self-help ia juga telah menolong hidup orang lain.

K.H. Hasyim Mujadi (mantan ketua PBNU dan salah satu alumni Gontor) pernah menceritakan; bahwa setiap kali datang silaturahmi kepada gurunya K.H. Imam Zarkasy di Gontor, selalu ditanya “masih di Depag?” pertanyaan itu berulang-ulang begitu setiap kali ia mengunjungi Gontor. Akhirya beliau bertanya kepada Kyainya yang lain, tentang kenapa setiap kali ia mengunjungi Gontor kok selalu ditanya oleh gurunya “Masih menjadi pegawai Depag?” jawaban kyainya, seperti yang diceritakan beliau sendiri “Kyaimu di Gontor itu berharap kamu ke luar dari Depag” terakhir;- beliau K.H. Hasyim Mujadi – ke luar dari Depag sebagai bentuk ketaatan kepada gurunya, lalu menghabiskan waktunya untuk mengabdi pada masyarakat, dan terbukti manfaat dirinya jauh lebih besar dan luas, beliau akhirnya memiliki santri, umat juga pegawai, merasakan nikmatnya menolong orang lain, mampu memperbanyak jasa bagi kehidupan, beliau telah hidup namun juga menghidupkan.

Self-help – di Gontor – bukan hanya teori yang di ceramahkan dalam ruang-ruang kelas, dipidatokan dalam pertemuan-pertemuan guru-santri, melainkan lebih dari itu; bahwa self-help adalah nafas harian santri selama ia menimba pendidikan di Gontor. Saat seseorang memutuskan untuk menuntut pendidikan di Gontor, ia telah memutuskan untuk mampu menolong dirinya sendiri. Tidak ada orang tua, kakak, saudara yang bisa mereka andalkan untuk menyelesaikan masalahnya selama ia belajar di Gontor, ia harus mampu menolong dirinya sendiri, dan belajar mengurus hidupnya agar mampu menempatkan dirinya dalam hidup orang lain. Karena tuntutan untuk mampu menolong diri sendiri itulah akhirnya ia memiliki kepercayaan diri, dengan kepercayaan kepada diri sendiri itulah ia mampu menatap masa depannya tanpa perasaan inferior, rendah diri dan mudah kagum pada budaya dan peradaban orang lain, dengan kebiasaan self-help itu, ia akan menatap dunia ini dengan tatapan optimisme, sebuah tatapan yang lahir dari jiwa yang memiliki azam untuk mampu berbuat bagi kehidupan di atas yang telah bisa orang lain perbuat. Wallahu a’lamu bishawab. (hasibamrullah).

Popular Articles